BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar dalam Islam. Tidak
ada satupun yang dapat menandinginya. Kitab samawi terakhir yang diberikan
kepada Nabi Muhammad SWT. sebagai penuntun dalam rangka pembinaan umatnya
sangatlah fenomenal. Lantaran di dalamnya sarat nilai-nilai yang unik, pelik dan
rumit sekaligus luar biasa. Hal ini dikarenakan eksistensinya yang tidak hanya
sebagai ajaran keagamaan saja, melainkan ajaran kehidupan yang mencakup total
tata nilai semenjak hulu peradaban umat manusia hingga hilirnya.
Nilai-nilai tersebut terletak pada aspek kebahasaan, isyarat-isyarat
ilmiah dan muatan hukum yang terkandung didalamnya. Tak jarang pula ia menjadi objek kajian dari
berbagai macam sudutnya, yang melahirkan ketakjuban bagi yang beriman dan
cercaan bagi yang ingkar.
Namun demikian, seiring dengan waktu dan kemajuan
intelektualitas manusia yang diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan
modern, sedikit demi sedikit nilai-nilai tersebut dapat terkuak dan berpengaruh
terhadap kesadaran manusia akan keterbatasan dirinya, sebaliknya mengokohkan
posisi Al-Qur`an sebagai kalam Tuhan yang Qudus yang berfungsi sebagai petunjuk
dan bukti terhadap kebenaran risalah yang dibawa Nabi Muhammad SWT. Serentetan nilai Al-Qur`an yang
unik, pelik, rumit sekaligus luar biasa hingga dapat menundukkan manusia dengan
segala potensinya itulah yang lazimnya disebut dengan ‘mukjizat’.
Berbeda dengan mukjizat Nabi-Nabi terdahulu yang sifatnya
inderawi, Al-Qur’an terkesan lebih mengkritisi fenomena yang telah, sedang, dan
atau akan terjadi. Maka
pantaslah jika al-Qur’an merupakan sumber pokok (dasar) ajaran Islam yang pertama dalam
menghukumi suatu perkara.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Mukjizat
Mukjizat berasal dari kata dalam bahasa arab yaitu i’jaz yang
artinya memberi dan menetapkan sifat lemah kepada yang lain. Jika dikatakan أعجز الرجل أخاه berarti ia memberi atau menetapkan sifat lemah kepada saudaranya
untuk berbuat sesuatu. Sebagaimana
yang telah difirmankan oleh Alloh dalam surat Al-Maidah :
... قال يا ويلتا أعجزت أن أكون مثل هـذا
الغراب فأواري سوءة أخي ...( المائدة: ٣١ )
... "Aduhai
celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku
dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" ...
Pelakunya (yang melemahkan) dinamai
mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu
membungkam lawan, ia dinamai mujizat. Tambahan ta’ marbuthah pada akhir kata
itu mengandung makna mubalighah (superlatif).
Mukjizat
didefinisikan oleh pakar agama Islam, antara lain sebagai suatu hal atau
peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seorang yang mengaku Nabi, sebagai
bukti kenabiannya sebagai tantangan bagi orang ragu, untuk melakukan atau
mendatangkan hal serupa, tetapi tidak melayani tantangan itu. Dengan redaksi
yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai suatu yang luar biasa yang
diperlihatkan Allah SWT. melalui para Nabi dan Rasul-Nya, sebagai bukti atas
kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya.
Mukjizat tidak dapat melemahkan
kepada yang lain kecuali memenuhi tiga syarat :
a.
Tantangan, artinya menuntut adanya tandingan,
aduan, atau perlawanan,
b.
Adanya ungkapan yang mendorong penantang untuk
mengadakan tantangan,
c.
Tidak ada penghalang untuk melakukan perlawanan.
Unsur-unsur mukjizat, sebagaimana
dijelaskan oleh Quraish Shihab, adalah :
a. Hal atau peristiwa yang luar biasa.
Peristiwa-peristiwa alam, yang terlihat sehari-hari,
walaupun menakjubkan, tidak dinamai mukjizat. Hal ini karena peristiwa tersebut
merupakan suatu yang biasa.
b. Terjadi atau dipaparkan oleh seseorang
yang mengaku Nabi.
Hal-hal di luar kebiasaan tidak mustahil terjadi
pada diri siapa pun. Apabila keluarbiasaan tersebut bukan dari seorang yang
mengaku Nabi, hal itu tidak dinamai mukjizat.
c. Mendukung tantangan terhadap mereka yang
meragukan kenabian.
Tentu saja ini harus bersamaan dengan pengakuannya
sebagai Nabi, bukan sebelum dan sesudahnya. Di saat ini, tantangan tersebut
harus pula merupakan sesuatu yang berjalan dengan ucapan sang Nabi. Kalau
misalnya ia berkata, “batu ini dapat bicara”, tetapi ketika batu itu berbicara,
dikatakannya bahwa “Sang penantang
berbohong”, maka keluarbiasaan ini bukan mukjizat, tetapi ihanah atau istidraj.
d. Tantangan tersebut tidak mampu atau
gagal dilayani.
Bila yang ditantang berhasil melakukan hal serupa,
ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti. Perlu digarisbawahi
di sini bahwa kandungan tantangan harus benar-benar dipahami oleh yang
ditantang. Untuk membuktikan kegagalan mereka, aspek kemukjizatan tiap-tiap
Nabi sesuai dengan bidang keahlian umatnya.
2.2 Al-Qur’an
Secara etimologis
Al-Qur’an adalah bentuk mashdar dari kata qara-a ( قرأ ) sewazan dengan kata fu’laan ( فعلان ),
artinya : bacaan, berbicara tentang apa yang ditulis padanya, atau melihat dan
menelaah. Dalam pengertian ini, kata قرأن berarti مقروء, yaitu isim maf’ul (objek) dari قرأ. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Qiyamah (75)
: 17-18.
إن علينا جمعه وقرآنه . فإذا قرأناه فاتبع
قرآنه
“Sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya
maka ikutilah bacaannya itu.”
كَلاَمُ اللهِ اْلمُعْجِزِ اْلمُنْـزِلُ عَلىَ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ السَّلاَمَ اَلْمَنْقُوْلُ تَوَاتِرًا وَالْمُتَعَبَّدُ بِهِ تِلاَوَةً
“Kalamullah,
sebagai mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan
diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya dihukumi ibadah”.
Adapun mengapa didefinisikan sebagai “kalaam al-Allah
al-mu’jiz” (kalamullah yang penuh mukjizat), hal ini ditujukan untuk
membedakan al-Quran dengan kalam-kalam yang lain. Dengan
kata lain, al-Quran bukanlah kalam manusia, malaikat, jin, nabi, dan rasul. Oleh
karena itu, hadits qudsiy dan hadits nabawiy tidaklah termasuk al-Quran.
Sedangkan definisi “al-munzil ‘ala Nabi Muhammad SAW”
ini untuk membedakan al-Quran dengan kitab-kitab sebelumnya : Zabur, Taurat, Injil,
dan Shuhuf.
Adapun
definisi yang menyatakan “al-manquul tawatiran”, adalah untuk membedakan
al-Quran dengan al-Quran yang diriwayatkan secara ahad : qira’at syadz yang tidak
mutawatir. Atas dasar itu, riwayat-riwayat ahad yang diklaim sebagai al-Quran
tidak boleh dianggap sebagai al-Quran. Sedangkan batasan definisi terakhir “al-muta’abbid
bihi tilaawatan”,
hal ini untuk membedakan al-Quran dengan hadits qudsiy. Walaupun hadits qudsiy
juga dinisbahkan kepada Allah, akan tetapi membacanya tidaklah dianggap ibadah.
Dari segi penjelasannya terhadap hukum,
ada beberapa cara yang digunakan al-Qur’an, yaitu:
1. Secara Juz’i (terperinci). Maksudnya,
al-Qur’an menjelaskan secara terperinci. Allah dalam al-Qur’an memberikan
penjelasan secara lengkap, sehingga dapat dilaksanakan menurut apa adanya,
meskipun tidak dijelaskan Nabi dengan sunnahnya. Umpamanya ayat-ayat tentang
kewarisan yang terdapat dalam surat an-Nisa (4):11 dan 12. Tentang sanksi
terhadap kejahatan zina dalam surat an-Nur (24):4. Penjelasan yang terperinci
dalam ayat seperti di atas, sudah terang maksudnya dan tidak memberikan peluang
adanya kemungkinan pemahaman lain. Dari segi kejelasan artinya, ayat tersebut
termasuk ayat muhkamat.
2. Secara Kulli (global). Maksudnya,
penjelasan al-Qur’an terhadap hukum berlaku secara garis besar, sehingga masih
memerlukan penjelasan dalam pelaksanaannya. Yang paling berwenang memberikan
penjelasan terhadap maksud ayat yang berbentuk garis besar itu adalah Nabi
Muhammad dengan sunnahnya. Penjelasan dari Nabi sendiri di antaranya ada yang
berbentuk pasti sehingga tidak memberikan kemungkinan adanya pemahaman lain.
Disamping itu ada pula penjelasan Nabi dalam bentuk yang masih samar dan
memberikan kemungkinan adanya beberapa pemahaman.
3.
Secara
Isyarah. Al-Qur’an memberikan penjelasan terhadap apa yang secara lahir
disebutkan di dalamnya dalam bentuk penjelasan secara isyarat. Di samping itu,
juga memberikan pengertian secara isyarat kepada maksud lain. Dengan demikian
satu ayat al-Qur’an dapat memberikan beberapa maksud.
Jadi pengertian
I’jazul qur’an adalah sesuatu yang luar biasa yang diberikan oleh Allah kepada
Nabi Muhammad SWT. untuk melemahkan orang-orang yang menentangnya sebagai bukti
atas kenabian dan kerasulannya.
2.3 Mu’jizat Al-Qur’an sebagai
dasar hukum
Al-Qur’an bukanlah kitab
undang-undang yang menggunakan ibarat tertentu dalam menjelaskan hukum.
Al-Qur’an adalah sumber hidayah yang didalamnya terkandung norma dan kaidah
yang dapat diformulasikan dalam bentuk hukum dan undang-undang.
Dalam menjelaskan hukum, al-Qur’an
menggunakan beberapa cara dan ibarat, yaitu dalam bentuk tuntutan, baik
tuntutan untuk berbuat yang disebut suruhan atau perintah, atau tuntutan untuk
meninggalkan yang disebut larangan.
Suruhan atau perintah menunjukkan
keharusan untuk berbuat seperti keharusan melaksanakan shalat dengan perintah
Allah dalam surat An-Nisa (4) : 77 :
اقيموا
الصلوة
“Laksanakanlah shalat”.
Larangan menunjukkan keharusan
meninggalkan perbuatan yang dilarang, seperti :
larangan membunuh dalam firman Allah :
ولا
تقتلوا النّفس الّتي حرّم الله إلا بالحق
“Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
kecuali dengan hak”. (al-An’am (6): 151)
Perintah dalam al-Qur’an yang
menunjukkan keharusan berbuat, disamping menggunakan kalimat suruhan,
kadangkala dinyatakan dengan cara mengemukakan janji mendapat kebaikan, pujian
atau pahala bagi yang melakukan suatu perbuatan. Umpamanya perintah untuk taat
kepada Allah dan Rasulnya:
ومن
يطع الله ورسوله يدخله جنّت
“Siapa yang taat kepada
Allah dan Rasul ia akan dimasukkan ke dalam surga”. (an-Nisa (4) : 13)
Bentuk perintah dalam al-Qur’an
yang menunjukkan keharusan menjauhi suatu perbuatan, di samping menggunakan
kata larangan, juga sering menggunakan cara dengan memberikan ancaman bagi
pelaku suatu perbuatan; seperti keharusan meninggalkan pencurian:
والسارق
والسارقة فاقطعوا ايديهما
“ Pencuri laki-laki dan perempuan potonglah tangan
keduanya”. (al-Maidah (5):58).
Imam Syafi’I berpendapat bahwa
Al-Qur’an merupakan sumber Islam yang paling pokok, dan beranggapan bahwa
Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari As-Sunnah karena kaitan antara keduanya
sangat erat sekali. Sehingga seakan akan beliau menganggap keduanya berada pada
satu martabat, namun bukan berarti Imam Syafi’I menyamakan derajat Al-Qur’an
dan Sunnah, namun kedudukan As-Sunnah itu adalah sumber hukum setelah Al-Qur’an
yang keduanya berasal dari Allah SWT. Berdasarkan kemukjizatan-kemukjizatan yang dimiliki oleh
al-qur’an maka pantaslah bahwa al-qur’an merupakan sumber hukum yang pertama
dalam menentukan hukum suatu perrkara. Urutan sumber-sumber hukum menurut Imam
Syafi’I adalah al-qur’an, hadist, ijma’, dan qiyas.
Ijma’ adalah kesepakatan para
ulama’ mengenai hukum dari suatu perkara atau masalah. Sedangkan qiyas adalah
menyamakan hukum dari suatu perkara yang muncul yang belum ada dasar hukumnya
dengan masalah serupa yang telah ada hukumnya.
Sebagai sumber hukum yang utama,
maka Al-Qur’an memuat sisi-sisi hukum yang mencakup berbagai bidang. Secara
garis besar Al-Qur’an memuat tiga sisi pokok hukum yaitu:
Pertama, Hukum I’tiqadiyah
yang dikaji dalam “Ilmu Tauhid” atau Ushuluddin”, yakni hukum-hukum yang
berkaitan dengan kewajiban orang mukallaf, meliputi keimanan kepada Allah,
Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, hari qiyamat dan ketetapan Allah
(qadha dan qadar).
Kedua, Hukum Khuluqiyah yang
kemudian dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”. yaitu hukum-hukum yang berhubungan
dengan perilaku orang mukallaf guna menghiasi dirinya dengan sifat-sifat
keutamaan/fadail al-a’mal dan menjauhkan diri dari segala sifat tercela yang
menyebabkan kehinaan.
Ketiga, Hukum Amaliyah yang
pembahasannya dikembangkan dalam “Ilmu Syari’ah”, yakni segala aturan hukum
yang berkaitan dengan segala perbuatan, perjanjian dan muamalah sesama manusia.
Segi hukum inilah yang lazimnya disebut dengan fiqh al-Qur’an dan itulah yang
dicapai dan dikembangkan oleh ilmu ushul al-Fiqh.
Yang
pertama menjadi dasar agama, yang kedua menjadi penyempurna bagian yang
pertama, amaliyah yang kadang-kadang disebut juga syari’at adalah bagian
hukum-hukum yang diperbincangkan dan menjadi objek fiqih. Dan inilah yang
kemudian disebut hukum Islam.
Tak kalah menakjubkan lagi ketika
Al-Qur`an berbicara tentang hukum(tasyri’) baik yang bersifat individu,
sosial(pidana, perdata, ekonomi serta politik) dan ibadah. Sepanjang sejarah
peradaban umat, manusia selalu berusaha membuat hukum-hukum yang mengatur
sekaligus sebagai landasan hidup mereka dalam kehidupan mereka. Namun demikian
hukum-hukum tersebut selalu direkonstruksi diamandement bahkan dihapuskan
sesuai dengan tingkat kemajuan intelekstualitas dan kebutuhan dalam kehidupan
sosial yang semakin kompleks. Perkara ini tak berlaku pada Al-Qur`an.
Hukum-hukum Al-Qur`an selalu kontekstual berlaku sepanjang hayat, dimanapun dan
kapanpun karena Al-Qur`an datang dari Zat yang Maha Adil lagi Bijaksana.
Dalam menetapkan hukum Al-Qur`an
menggunakan cara-cara sebgai berikut; pertama, secara mujmal. Cara ini
digunakan dalam banyak urusan ibadah yaitu dengan menerangkan pokok-pokok hukum
saja. Demikian pula tentang mu’amalat badaniyah Al-Qur`an hanya mengungkapkan
kaidah-kaidah secara kuliyah. Sedangkan perinciannya diserahkan pada As-Sunah
dan ijtihad para mujtahid. Kedua, hukum yang agak jelas dan terperinci.
Misalnya hukum jihad, undang-undang peranghubungan umat Islam dengan umat lain,
hukum tawanan dan rampasan perang. Seperti QS. At-Taubah 9:41. Ketiga, jelas
dan terpeinci. Diantara hukum-hukum ini adalah masalah hutang-piutang QS.
Al-Baqarah,2:282. Tentang makanan yang halal dan haram, QS. An-Nis` 4:29.
Tentang sumpah, QS. An-Nahl 16:94. Tentang perintah memelihara kehormatan
wanita, diantara QS. Al-Ahzab 33:59. dan perkawinan QS. An-Nisa` 4:22.
Yang menarik diantara hukum-hukum
tersebut adalah bagaimana Tuhan memformat setiap hukum atas dasar keadilan dan
keseimbangan baik untuk jasmani dan rohani, individu maupun sosial sekaligus
ketuhanan. Misalnya shalat yang hukumnya wajib bagi setiap muslim yang sudah
aqil-balig dan tidak boleh ditinggalkan atau diganti dengan apapun. Dari segi
gerakan banyak penelitian yang ternyata gerakan shalat sangat mempengaruhi
saraf manusia, yang intinya kalau shalat dilakukan dengan benar dan khusuk
(konsentrasi) maka dapat menetralisir dari segala penyakit yang terkait dengan
saraf, kelumpuhan misalnya. Juga shalat yang kusuk merupakan bentuk meditasi
yang luar biasa, sehingga apabila seseorang melakukan dengan baik maka jiwanya
akan selamat dari goncangan-goncangan yang mengakibatbatkan sters hingga gila.
Dalam konteks sosial shalat mampu
mencegah perbuatan keji dan mungkar seperti dalam QS. Al-‘Ankabut 29: 45,
اتل
ما أوحي إليك من الكتاب وأقم الصلاة إن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر ولذكر الله
أكبر والله يعلم ما تصنعون
Bacalah apa yang Telah diwahyukan
kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat
itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang
lain), dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
yang kedua perbuatan tersebut
merupakan biang kerok penyakit sosial. Semua bentuk kejahatan sosial seperti
politik kotor, korupsi, kriminalitas pelecehan seksual yang semua itu
disebabkan oleh nafsu (potensi) syaitoniyah dan shalat adalah obat mujarab
untuk itu. Contoh lain misalnya Al-Qur`an ali imran2;159 yang menanamkan sistem
hukum sosial dengan berdasar pada azaz musyawarah.
فبما رحمة من
الله لنت لهم ولو كنت فظا غليظ القلب لانفضوا من حولك فاعف عنهم واستغفر لهم
وشاورهم في الأمر فإذا عزمت فتوكل على الله إن الله يحب المتوكلين
Maka disebabkan rahmat dari
Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah
membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Ayat
diatas menganjurkan untuk menyelesaikan semua problem sosial dengan asas
musyawarah agar dapat memenuhi keadilan bersama dan tidak ada yang dirugikan.
Nilai yang dapat diambil adalah bagaimana manusia harus mampu bertanggung jawab
terhadap diri sendiri dan kelompoknya, karena hasil keputusan dengan musyawarah
adalah keputusan bersama. Dengan demikian keutuhan masyarakat tetap terjaga.
Ayat selanjutnya apabila sudah sepakat dan saling bertanggung jawab maka
bertawakkal kepada Allah. Hal ini mengindikasikan harus adanya kekuasaan mutlak
yang menjadi sentral semua hukum dan sistem tata nilai manusia.
Demikianlah
karakteristik sekaligus rahasia hukum-hukum Tuhan yang selalu menjaga keadilan
dan keseimbangan baik individu, sosial dan ketuhanan yang tak mungkin manusia
mampu menciptakan hukum secara kooperatif dan holistic. Oleh karena itu tak
salah bila seorang Rasyid Rida -sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab-
mengatakan dalam Al-Manarnya bahwa petunujuk Al-Qur`an dalam bidang akidah,
metafisika, ahlak, dan hukum-hukum yang berkaitan dengan agama, sosial, politik
dan ekonomi merupakan pengetahuan yang sangat tinggi nilainya. Dan jarang
sekali yang dapat mencapai puncak dalam bidang-bidang tersebut kecuali mereka
yang memusatkan diri secara penuh danmempelajarinya bertahun-tahun. Padahal
sebagaimana maklum Muhammad, Sang pembawa hukum tersebut adalah seorang Ummy
dan hidup pada kondisi dimana ilmu pengetahuan pada masa kegelapan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menanggapi
masalah definisi mukjizat yang telah dihadirkan para ulama, penulis lebih
cenderung pada makna “bukti”, hal ini didasarkan pada bahwa kata “mukjizat”
tidak ditemukan dalam al-quran melainkan kata “ayat”. Bukti-bukti inilah yang
luar biasa sehingga manusia khusunya masyarakat Arab ketika itu bertekuk lutut
atau paling tidak sebenarnya mereka mengakuinya. Diantara
bukti-bukti yang luar biasa tersebut adalah pada aspek kebahasaannya,
isyarat-isyarat ilmiyah dan muatan hukum yang terkandung didalamnya.
Ditilik
dari kebahasaan, Al-Qur`an mempunyai kandungan makna luar biasa baik yang dihasilkan dari pemilihan
kata, kalimat dan hubungan antar keduanya, efek fonologi terhadap nada dan
irama yang sangat berpengaruh terhadap jiwa penikmatanya atau efek fonologi
terhadap makna yang ditimbulkan serta deviasi kalimat yang sarat makna.
Ditambah lagi adanya keseimbangan redaksinya serta keseimbangan antara jumlah
bilangan katanya. Sehingga tak heran bila Al-Qur`an menempatkan dirinya sebagai
seambrek simbol yang sangat komunikatif lagi fenomenal.
Tak kalah
serunya Al-Qur`an dilihat dari dimensi ilmiah. Bagaimana Al-Qur`an
mendiskripsikan tentang reproduksi manusia, hal ihwal proses penciptaan alam beserta flora
dan faunanya tentang awan peredaran matahari dan seterusnya yang semua itu
dapat dibuktikan keabsahannya melalui kacamata ilmiah, sehingga menujukkan
bahwa Al-Qur`an sejalan dengan rasio dan akal manusia.
Adanya
kisah-kisah misterius dalam Al-Qur`an, menempatkannya sebagai ajaran kehidupan
yang mencakup total tata nilai mulai hulu peradaban umat manusia hingga
hilirnya. Bahwa peristiwa-peristiwa tersebut sengaja dihadirkan oleh Tuhan agar
manusia mampu menjadikannya sebagai ‘ibrah kehidupan. Ia merupakan sebuah
metode yang dipilih Tuhan untuk menuangkan nilai yang terkandung didalamnya.
Dari
segi penjelasannya terhadap hukum, ada beberapa cara yang digunakan al-Qur’an,
yaitu:
1. Secara
Juz’i (terperinci).
2. Secara
kulli (global).
3. Secara
Isyarah.
Secara garis besar hukum-hukum dalam al-Qur’an dapat
dibagi tiga macam:
1.
Hukum
I’tiqadiyah yang dikaji dalam “Ilmu Tauhid” atau Ushuluddin”.
2.
Hukum
Khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”.
3.
Hukum
Amaliyah yang pembahasannya dikembangkan dalam “Ilmu Syari’ah”.
Keistimewaan
Al-Qur`an yang paling esensi adalah petunjuk hukum secara kooperatif,
komprehensif dan holistik baik yang berkenaan masalah akidah, agama, sosial,
pilitik dan ekonomi yang secara umum bertolak pada asas keadilan dan
keseimbangan, baik secara jasmani dan rohani, dunia dan akhirat atau manusia
sebagai individu,
sosial masyarakat atau dengan Tuhannya. Demikianlah yang dapat penulis paparkan
dan akhirnya wallahu ‘alam bish-shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shabuni, Syekh Muhammad Ali.
2001. At-Tibyan fi Ulumil Qur’an. Jakarta: Pustaka Amani
Khalaf, abdul wahab. 2003. Ilmu ushulul fiqih
kaidah hukum islam. Jakarta: Pustaka Amani.
Khalaf, Abdul wahab. 1997. Ilmu Ushul Fiqih.
Bandung: Gema Risalah press.
Shihab, H. M. Quraish. 2000. Sejarah dan Ulumul Qur’an. Jakarta:
pustaka Firdaus.
Munawar,
Said Aqil Prof. DR. H., MA. 2002. Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki-Cetakan ke 2. Jakarta: Ciputat Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar