Kamis, 06 Desember 2012

MUKJIZAT AL-QUR’AN SEBAGAI DASAR HUKUM


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar dalam Islam. Tidak ada satupun yang dapat menandinginya. Kitab samawi terakhir yang diberikan kepada Nabi Muhammad SWT. sebagai penuntun dalam rangka pembinaan umatnya sangatlah fenomenal. Lantaran di dalamnya sarat nilai-nilai yang unik, pelik dan rumit sekaligus luar biasa. Hal ini dikarenakan eksistensinya yang tidak hanya sebagai ajaran keagamaan saja, melainkan ajaran kehidupan yang mencakup total tata nilai semenjak hulu peradaban umat manusia hingga hilirnya.
Nilai-nilai tersebut terletak pada aspek kebahasaan, isyarat-isyarat ilmiah dan muatan hukum yang terkandung didalamnya. Tak jarang pula ia menjadi objek kajian dari berbagai macam sudutnya, yang melahirkan ketakjuban bagi yang beriman dan cercaan bagi yang ingkar.
Namun demikian, seiring dengan waktu dan kemajuan intelektualitas manusia yang diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern, sedikit demi sedikit nilai-nilai tersebut dapat terkuak dan berpengaruh terhadap kesadaran manusia akan keterbatasan dirinya, sebaliknya mengokohkan posisi Al-Qur`an sebagai kalam Tuhan yang Qudus yang berfungsi sebagai petunjuk dan bukti terhadap kebenaran risalah yang dibawa Nabi Muhammad SWT. Serentetan nilai Al-Qur`an yang unik, pelik, rumit sekaligus luar biasa hingga dapat menundukkan manusia dengan segala potensinya itulah yang lazimnya disebut dengan mukjizat.
Berbeda dengan mukjizat Nabi-Nabi terdahulu yang sifatnya inderawi, Al-Qur’an terkesan lebih mengkritisi fenomena yang telah, sedang, dan atau akan terjadi. Maka pantaslah jika al-Qur’an merupakan sumber pokok (dasar) ajaran Islam yang pertama dalam menghukumi suatu perkara.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Mukjizat
Mukjizat berasal dari kata dalam bahasa arab yaitu i’jaz yang artinya memberi dan menetapkan sifat lemah kepada yang lain. Jika dikatakan  أعجز الرجل أخاه berarti ia memberi atau menetapkan sifat lemah kepada saudaranya untuk berbuat sesuatu. Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Alloh dalam surat Al-Maidah :
... قال يا ويلتا أعجزت أن أكون مثل هـذا الغراب فأواري سوءة أخي  ...( المائدة: ٣١ )
... "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" ...
Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, ia dinamai mujizat. Tambahan ta’ marbuthah pada akhir kata itu mengandung makna mubalighah (superlatif).
Mukjizat didefinisikan oleh pakar agama Islam, antara lain sebagai suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seorang yang mengaku Nabi, sebagai bukti kenabiannya sebagai tantangan bagi orang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, tetapi tidak melayani tantangan itu. Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai suatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah SWT. melalui para Nabi dan Rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya.
Mukjizat tidak dapat melemahkan kepada yang lain kecuali memenuhi tiga syarat :
a.       Tantangan, artinya menuntut adanya tandingan, aduan, atau perlawanan,
b.      Adanya ungkapan yang mendorong penantang untuk mengadakan tantangan,
c.       Tidak ada penghalang untuk melakukan perlawanan.
Unsur-unsur mukjizat, sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab, adalah :
a.       Hal atau peristiwa yang luar biasa.
Peristiwa-peristiwa alam, yang terlihat sehari-hari, walaupun menakjubkan, tidak dinamai mukjizat. Hal ini karena peristiwa tersebut merupakan suatu yang biasa.
b.      Terjadi atau dipaparkan oleh seseorang yang mengaku Nabi.
Hal-hal di luar kebiasaan tidak mustahil terjadi pada diri siapa pun. Apabila keluarbiasaan tersebut bukan dari seorang yang mengaku Nabi, hal itu tidak dinamai mukjizat.
c.       Mendukung tantangan terhadap mereka yang meragukan kenabian.
Tentu saja ini harus bersamaan dengan pengakuannya sebagai Nabi, bukan sebelum dan sesudahnya. Di saat ini, tantangan tersebut harus pula merupakan sesuatu yang berjalan dengan ucapan sang Nabi. Kalau misalnya ia berkata, “batu ini dapat bicara”, tetapi ketika batu itu berbicara, dikatakannya bahwa  “Sang penantang berbohong”, maka keluarbiasaan ini bukan mukjizat, tetapi ihanah atau istidraj.
d.      Tantangan tersebut tidak mampu atau gagal dilayani.
Bila yang ditantang berhasil melakukan hal serupa, ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti. Perlu digarisbawahi di sini bahwa kandungan tantangan harus benar-benar dipahami oleh yang ditantang. Untuk membuktikan kegagalan mereka, aspek kemukjizatan tiap-tiap Nabi sesuai dengan bidang keahlian umatnya.

2.2  Al-Qur’an
Secara etimologis Al-Qur’an adalah bentuk mashdar dari kata qara-a ( قرأ ) sewazan dengan kata fu’laan ( فعلان ), artinya : bacaan, berbicara tentang apa yang ditulis padanya, atau melihat dan menelaah. Dalam pengertian ini, kata قرأن berarti مقروء, yaitu isim maf’ul (objek) dari قرأ. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Qiyamah (75) : 17-18.

إن علينا جمعه وقرآنه . فإذا قرأناه فاتبع قرآنه

Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.

كَلاَمُ اللهِ اْلمُعْجِزِ اْلمُنْـزِلُ عَلىَ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ السَّلاَمَ اَلْمَنْقُوْلُ تَوَاتِرًا وَالْمُتَعَبَّدُ بِهِ تِلاَوَةً
“Kalamullah, sebagai mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya dihukumi ibadah”.

Adapun mengapa didefinisikan sebagai “kalaam al-Allah al-mu’jiz” (kalamullah yang penuh mukjizat), hal ini ditujukan untuk membedakan al-Quran dengan kalam-kalam yang lain. Dengan kata lain, al-Quran bukanlah kalam manusia, malaikat, jin, nabi, dan rasul. Oleh karena itu, hadits qudsiy dan hadits nabawiy tidaklah termasuk al-Quran. Sedangkan definisi “al-munzil ‘ala Nabi Muhammad SAW” ini untuk membedakan al-Quran dengan kitab-kitab sebelumnya : Zabur, Taurat, Injil, dan Shuhuf.
Adapun definisi yang menyatakan “al-manquul tawatiran, adalah untuk membedakan al-Quran dengan al-Quran yang diriwayatkan secara ahad : qiraat syadz yang tidak mutawatir. Atas dasar itu, riwayat-riwayat ahad yang diklaim sebagai al-Quran tidak boleh dianggap sebagai al-Quran. Sedangkan batasan definisi terakhir “al-muta’abbid bihi tilaawatan, hal ini untuk membedakan al-Quran dengan hadits qudsiy. Walaupun hadits qudsiy juga dinisbahkan kepada Allah, akan tetapi membacanya tidaklah dianggap ibadah.
Dari segi penjelasannya terhadap hukum, ada beberapa cara yang digunakan al-Qur’an, yaitu:
1.      Secara Juz’i (terperinci). Maksudnya, al-Qur’an menjelaskan secara terperinci. Allah dalam al-Qur’an memberikan penjelasan secara lengkap, sehingga dapat dilaksanakan menurut apa adanya, meskipun tidak dijelaskan Nabi dengan sunnahnya. Umpamanya ayat-ayat tentang kewarisan yang terdapat dalam surat an-Nisa (4):11 dan 12. Tentang sanksi terhadap kejahatan zina dalam surat an-Nur (24):4. Penjelasan yang terperinci dalam ayat seperti di atas, sudah terang maksudnya dan tidak memberikan peluang adanya kemungkinan pemahaman lain. Dari segi kejelasan artinya, ayat tersebut termasuk ayat muhkamat.
2.      Secara Kulli (global). Maksudnya, penjelasan al-Qur’an terhadap hukum berlaku secara garis besar, sehingga masih memerlukan penjelasan dalam pelaksanaannya. Yang paling berwenang memberikan penjelasan terhadap maksud ayat yang berbentuk garis besar itu adalah Nabi Muhammad dengan sunnahnya. Penjelasan dari Nabi sendiri di antaranya ada yang berbentuk pasti sehingga tidak memberikan kemungkinan adanya pemahaman lain. Disamping itu ada pula penjelasan Nabi dalam bentuk yang masih samar dan memberikan kemungkinan adanya beberapa pemahaman.
3.      Secara Isyarah. Al-Qur’an memberikan penjelasan terhadap apa yang secara lahir disebutkan di dalamnya dalam bentuk penjelasan secara isyarat. Di samping itu, juga memberikan pengertian secara isyarat kepada maksud lain. Dengan demikian satu ayat al-Qur’an dapat memberikan beberapa maksud.
Jadi pengertian I’jazul qur’an adalah sesuatu yang luar biasa yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SWT. untuk melemahkan orang-orang yang menentangnya sebagai bukti atas kenabian dan kerasulannya.

2.3  Mu’jizat Al-Qur’an sebagai dasar hukum
Al-Qur’an bukanlah kitab undang-undang yang menggunakan ibarat tertentu dalam menjelaskan hukum. Al-Qur’an adalah sumber hidayah yang didalamnya terkandung norma dan kaidah yang dapat diformulasikan dalam bentuk hukum dan undang-undang.
Dalam menjelaskan hukum, al-Qur’an menggunakan beberapa cara dan ibarat, yaitu dalam bentuk tuntutan, baik tuntutan untuk berbuat yang disebut suruhan atau perintah, atau tuntutan untuk meninggalkan yang disebut larangan.
Suruhan atau perintah menunjukkan keharusan untuk berbuat seperti keharusan melaksanakan shalat dengan perintah Allah dalam surat An-Nisa (4) : 77 :
اقيموا الصلوة
“Laksanakanlah shalat”.
Larangan menunjukkan keharusan meninggalkan perbuatan yang dilarang, seperti :
larangan membunuh dalam firman Allah :
ولا تقتلوا النّفس الّتي حرّم الله إلا بالحق
“Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak”. (al-An’am (6): 151)
Perintah dalam al-Qur’an yang menunjukkan keharusan berbuat, disamping menggunakan kalimat suruhan, kadangkala dinyatakan dengan cara mengemukakan janji mendapat kebaikan, pujian atau pahala bagi yang melakukan suatu perbuatan. Umpamanya perintah untuk taat kepada Allah dan Rasulnya:
ومن يطع الله ورسوله يدخله جنّت
“Siapa yang taat kepada Allah dan Rasul ia akan dimasukkan ke dalam surga”. (an-Nisa (4) : 13)
Bentuk perintah dalam al-Qur’an yang menunjukkan keharusan menjauhi suatu perbuatan, di samping menggunakan kata larangan, juga sering menggunakan cara dengan memberikan ancaman bagi pelaku suatu perbuatan; seperti keharusan meninggalkan pencurian:
والسارق والسارقة فاقطعوا ايديهما
“ Pencuri laki-laki dan perempuan potonglah tangan keduanya”. (al-Maidah (5):58).
Imam Syafi’I berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber Islam yang paling pokok, dan beranggapan bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari As-Sunnah karena kaitan antara keduanya sangat erat sekali. Sehingga seakan akan beliau menganggap keduanya berada pada satu martabat, namun bukan berarti Imam Syafi’I menyamakan derajat Al-Qur’an dan Sunnah, namun kedudukan As-Sunnah itu adalah sumber hukum setelah Al-Qur’an yang keduanya berasal dari Allah SWT. Berdasarkan  kemukjizatan-kemukjizatan yang dimiliki oleh al-qur’an maka pantaslah bahwa al-qur’an merupakan sumber hukum yang pertama dalam menentukan hukum suatu perrkara. Urutan sumber-sumber hukum menurut Imam Syafi’I adalah al-qur’an, hadist, ijma’, dan qiyas.
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama’ mengenai hukum dari suatu perkara atau masalah. Sedangkan qiyas adalah menyamakan hukum dari suatu perkara yang muncul yang belum ada dasar hukumnya dengan masalah serupa yang telah ada hukumnya.
Sebagai sumber hukum yang utama, maka Al-Qur’an memuat sisi-sisi hukum yang mencakup berbagai bidang. Secara garis besar Al-Qur’an memuat tiga sisi pokok hukum yaitu:
Pertama, Hukum I’tiqadiyah yang dikaji dalam “Ilmu Tauhid” atau Ushuluddin”, yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban orang mukallaf, meliputi keimanan kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, hari qiyamat dan ketetapan Allah (qadha dan qadar).
Kedua, Hukum Khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”. yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan perilaku orang mukallaf guna menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan/fadail al-a’mal dan menjauhkan diri dari segala sifat tercela yang menyebabkan kehinaan.
Ketiga, Hukum Amaliyah yang pembahasannya dikembangkan dalam “Ilmu Syari’ah”, yakni segala aturan hukum yang berkaitan dengan segala perbuatan, perjanjian dan muamalah sesama manusia. Segi hukum inilah yang lazimnya disebut dengan fiqh al-Qur’an dan itulah yang dicapai dan dikembangkan oleh ilmu ushul al-Fiqh.
Yang pertama menjadi dasar agama, yang kedua menjadi penyempurna bagian yang pertama, amaliyah yang kadang-kadang disebut juga syari’at adalah bagian hukum-hukum yang diperbincangkan dan menjadi objek fiqih. Dan inilah yang kemudian disebut hukum Islam.
Tak kalah menakjubkan lagi ketika Al-Qur`an berbicara tentang hukum(tasyri’) baik yang bersifat individu, sosial(pidana, perdata, ekonomi serta politik) dan ibadah. Sepanjang sejarah peradaban umat, manusia selalu berusaha membuat hukum-hukum yang mengatur sekaligus sebagai landasan hidup mereka dalam kehidupan mereka. Namun demikian hukum-hukum tersebut selalu direkonstruksi diamandement bahkan dihapuskan sesuai dengan tingkat kemajuan intelekstualitas dan kebutuhan dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks. Perkara ini tak berlaku pada Al-Qur`an. Hukum-hukum Al-Qur`an selalu kontekstual berlaku sepanjang hayat, dimanapun dan kapanpun karena Al-Qur`an datang dari Zat yang Maha Adil lagi Bijaksana.
Dalam menetapkan hukum Al-Qur`an menggunakan cara-cara sebgai berikut; pertama, secara mujmal. Cara ini digunakan dalam banyak urusan ibadah yaitu dengan menerangkan pokok-pokok hukum saja. Demikian pula tentang mu’amalat badaniyah Al-Qur`an hanya mengungkapkan kaidah-kaidah secara kuliyah. Sedangkan perinciannya diserahkan pada As-Sunah dan ijtihad para mujtahid. Kedua, hukum yang agak jelas dan terperinci. Misalnya hukum jihad, undang-undang peranghubungan umat Islam dengan umat lain, hukum tawanan dan rampasan perang. Seperti QS. At-Taubah 9:41. Ketiga, jelas dan terpeinci. Diantara hukum-hukum ini adalah masalah hutang-piutang QS. Al-Baqarah,2:282. Tentang makanan yang halal dan haram, QS. An-Nis` 4:29. Tentang sumpah, QS. An-Nahl 16:94. Tentang perintah memelihara kehormatan wanita, diantara QS. Al-Ahzab 33:59. dan perkawinan QS. An-Nisa` 4:22.
Yang menarik diantara hukum-hukum tersebut adalah bagaimana Tuhan memformat setiap hukum atas dasar keadilan dan keseimbangan baik untuk jasmani dan rohani, individu maupun sosial sekaligus ketuhanan. Misalnya shalat yang hukumnya wajib bagi setiap muslim yang sudah aqil-balig dan tidak boleh ditinggalkan atau diganti dengan apapun. Dari segi gerakan banyak penelitian yang ternyata gerakan shalat sangat mempengaruhi saraf manusia, yang intinya kalau shalat dilakukan dengan benar dan khusuk (konsentrasi) maka dapat menetralisir dari segala penyakit yang terkait dengan saraf, kelumpuhan misalnya. Juga shalat yang kusuk merupakan bentuk meditasi yang luar biasa, sehingga apabila seseorang melakukan dengan baik maka jiwanya akan selamat dari goncangan-goncangan yang mengakibatbatkan sters hingga gila.
Dalam konteks sosial shalat mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar seperti dalam QS. Al-‘Ankabut 29: 45,
اتل ما أوحي إليك من الكتاب وأقم الصلاة إن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر ولذكر الله أكبر والله يعلم ما تصنعون
Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain), dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

yang kedua perbuatan tersebut merupakan biang kerok penyakit sosial. Semua bentuk kejahatan sosial seperti politik kotor, korupsi, kriminalitas pelecehan seksual yang semua itu disebabkan oleh nafsu (potensi) syaitoniyah dan shalat adalah obat mujarab untuk itu. Contoh lain misalnya Al-Qur`an ali imran2;159 yang menanamkan sistem hukum sosial dengan berdasar pada azaz musyawarah.
فبما رحمة من الله لنت لهم ولو كنت فظا غليظ القلب لانفضوا من حولك فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم في الأمر فإذا عزمت فتوكل على الله إن الله يحب المتوكلين
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Ayat diatas menganjurkan untuk menyelesaikan semua problem sosial dengan asas musyawarah agar dapat memenuhi keadilan bersama dan tidak ada yang dirugikan. Nilai yang dapat diambil adalah bagaimana manusia harus mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan kelompoknya, karena hasil keputusan dengan musyawarah adalah keputusan bersama. Dengan demikian keutuhan masyarakat tetap terjaga. Ayat selanjutnya apabila sudah sepakat dan saling bertanggung jawab maka bertawakkal kepada Allah. Hal ini mengindikasikan harus adanya kekuasaan mutlak yang menjadi sentral semua hukum dan sistem tata nilai manusia.
Demikianlah karakteristik sekaligus rahasia hukum-hukum Tuhan yang selalu menjaga keadilan dan keseimbangan baik individu, sosial dan ketuhanan yang tak mungkin manusia mampu menciptakan hukum secara kooperatif dan holistic. Oleh karena itu tak salah bila seorang Rasyid Rida -sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab- mengatakan dalam Al-Manarnya bahwa petunujuk Al-Qur`an dalam bidang akidah, metafisika, ahlak, dan hukum-hukum yang berkaitan dengan agama, sosial, politik dan ekonomi merupakan pengetahuan yang sangat tinggi nilainya. Dan jarang sekali yang dapat mencapai puncak dalam bidang-bidang tersebut kecuali mereka yang memusatkan diri secara penuh danmempelajarinya bertahun-tahun. Padahal sebagaimana maklum Muhammad, Sang pembawa hukum tersebut adalah seorang Ummy dan hidup pada kondisi dimana ilmu pengetahuan pada masa kegelapan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Menanggapi masalah definisi mukjizat yang telah dihadirkan para ulama, penulis lebih cenderung pada makna “bukti”, hal ini didasarkan pada bahwa kata “mukjizat” tidak ditemukan dalam al-quran melainkan kata “ayat”. Bukti-bukti inilah yang luar biasa sehingga manusia khusunya masyarakat Arab ketika itu bertekuk lutut atau paling tidak sebenarnya mereka mengakuinya. Diantara bukti-bukti yang luar biasa tersebut adalah pada aspek kebahasaannya, isyarat-isyarat ilmiyah dan muatan hukum yang terkandung didalamnya.
Ditilik dari kebahasaan, Al-Qur`an mempunyai kandungan makna luar biasa baik yang dihasilkan dari pemilihan kata, kalimat dan hubungan antar keduanya, efek fonologi terhadap nada dan irama yang sangat berpengaruh terhadap jiwa penikmatanya atau efek fonologi terhadap makna yang ditimbulkan serta deviasi kalimat yang sarat makna. Ditambah lagi adanya keseimbangan redaksinya serta keseimbangan antara jumlah bilangan katanya. Sehingga tak heran bila Al-Qur`an menempatkan dirinya sebagai seambrek simbol yang sangat komunikatif lagi fenomenal.
Tak kalah serunya Al-Qur`an dilihat dari dimensi ilmiah. Bagaimana Al-Qur`an mendiskripsikan tentang reproduksi manusia, hal ihwal proses penciptaan alam beserta flora dan faunanya tentang awan peredaran matahari dan seterusnya yang semua itu dapat dibuktikan keabsahannya melalui kacamata ilmiah, sehingga menujukkan bahwa Al-Qur`an sejalan dengan rasio dan akal manusia.
Adanya kisah-kisah misterius dalam Al-Qur`an, menempatkannya sebagai ajaran kehidupan yang mencakup total tata nilai mulai hulu peradaban umat manusia hingga hilirnya. Bahwa peristiwa-peristiwa tersebut sengaja dihadirkan oleh Tuhan agar manusia mampu menjadikannya sebagai ‘ibrah kehidupan. Ia merupakan sebuah metode yang dipilih Tuhan untuk menuangkan nilai yang terkandung didalamnya.
Dari segi penjelasannya terhadap hukum, ada beberapa cara yang digunakan al-Qur’an, yaitu:
1.    Secara Juz’i (terperinci).
2.    Secara kulli (global).
3.    Secara Isyarah.
Secara garis besar hukum-hukum dalam al-Qur’an dapat dibagi tiga macam:
1.        Hukum I’tiqadiyah yang dikaji dalam “Ilmu Tauhid” atau Ushuluddin”.
2.        Hukum Khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”.
3.        Hukum Amaliyah yang pembahasannya dikembangkan dalam “Ilmu Syari’ah”.
Keistimewaan Al-Qur`an yang paling esensi adalah petunjuk hukum secara kooperatif, komprehensif dan holistik baik yang berkenaan masalah akidah, agama, sosial, pilitik dan ekonomi yang secara umum bertolak pada asas keadilan dan keseimbangan, baik secara jasmani dan rohani, dunia dan akhirat atau manusia sebagai individu, sosial masyarakat atau dengan Tuhannya. Demikianlah yang dapat penulis paparkan dan akhirnya wallahu ‘alam bish-shawab.


DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shabuni, Syekh Muhammad Ali. 2001. At-Tibyan fi Ulumil Qur’an. Jakarta: Pustaka Amani
Khalaf, abdul wahab. 2003. Ilmu ushulul fiqih kaidah hukum islam. Jakarta:  Pustaka Amani.
Khalaf,  Abdul wahab. 1997. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Gema Risalah press. 
Shihab, H. M.  Quraish. 2000. Sejarah dan Ulumul Qur’an. Jakarta: pustaka Firdaus.
Munawar, Said Aqil Prof. DR. H., MA. 2002. Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki-Cetakan ke 2. Jakarta: Ciputat Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar